Bersama mahasiswa S2 Psikologi UGM di Rumah Psikologi Progresif. |
Makalah diskusi pendidikan Psikologi Progresif S2 UGM
Disampaikan
di Rumah Psikologi Progresif, Kamis, 11 Desember 2014.
Mengkaji
Urai Korelasi Permendikbud No.49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi dan Perpres No.8/2012 tentang KKNI
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan
Perlu
kawan ketahui, dikeluarkannya Permendikbud No.49/2014 tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi merupakan turunan lebih rinci dari Pasal 52 dan 54 UU
No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 52 ayat 1 UU No.12/2012 berbunyi “Penjaminan
mutu pendidikan tinggi merupakan kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu
pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan”. Pasal 52 ayat 2
menerangkan “Penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
melalui penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar
pendidikan tinggi”. Oleh sebab itu, agar jelas ukuran mutunya Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan di pasal 53 ayat 3 “Menteri menetapkan sistem
penjaminan mutu pendidikan tinggi dan standar nasional pendidikan tinggi”. Intinya
pemerintah ingin meningkatkan mutu pengelolaan kampus dengan standar yang baru
dan paradigm baru untuk mengembangkan institusi perguruan tinggi dengan prinsip
meningkatkan kualitas, mempunyai otonomi akademik dan nonakademik,
akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi.
Pada
titik ini, pasal 54 ayat 1 menyebutkan “Standar pendidikan tinggi terdiri atas:
a.
Standar nasional pendidikan tinggi ditetapkan oleh menteri atas usul suatu
badan yang bertugas menyusun dan mengembankan standar nasional pendidikan
tinggi. (menurut penulis badan itu adalah Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) dan direktorat jenderal pendidikan tinggi).
b.
Standar pendidikan tinggi ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi dengan
mengacu pada standar pendidikan tinggi.
Maka
keluarlah Permendikbud No.49/2012 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang
menjabarkan secara rigid standar nasional tridharma perguruan tinggi yaitu
pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Peraturan menteri ini
melengkapi (bukan menghapus) PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pada
Permendikbud No.49/2014 ada beberapa hal yang patut dijelaskan terutama
korelasinya dengan Peraturan Presiden No.8/2012 tentang Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI). Pada pasal 1 ayat 1 Perpres No.8/2012 disebutkan KKNI
adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan,
menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang
pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan
kompetensi kerja sesuai struktur pekerjaan di berbagai sektor Pada bagian kedua
tentang Standar Kompetensi Lulusan Pasal 5 ayat 1 Permendikbud 49/2012 berbunyi
“Standar kompetensi lulusan merupakan kriteria minimal tentang kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
dinyatakan dalam rumusan capaian pembelajaran lulusan”. Selanjutnya Pasal 5
ayat 3 disebutkan “Rumusan capaian pembelajaran lulusan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 wajib:
a.
mengacu pada deskripsi capaian pembelajaran lulusan KKNI; dan
b.
memiliki kesetaraan dengan jenjang kualifikasi pada KKNI.
Maksud
capaian pembelajaran adalah kemampuan yang diperoleh melalui internalisasi
pengetahuan, sikap, ketrampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja.
Pada pasal 5 Perpres No.8/2012 tentang KKNI tertera “Penyetaraan capaian
pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan dengan jenjang kualifikasi pada
KKNI terdiri atas:
a. lulusan
pendidikan dasar setara dengan jenjang 1;
b. lulusan
pendidikan menengah paling rendah setara dengan jenjang 2;
c. lulusan
diploma 1 setara dengan jenjang 3;
d. lulusan
diploma 2 setara dengan jenjang 4;
e. lulusan
diploma 3 setara dengan jenjang 5;
f. lulusan
diploma 4 atau sarjana terapan dan sarjana paling rendah setara dengan jenjang
6;
g. lulusan
magister terapan dan magister paling rendah setara dengan jenjang 8;
h. lulusan
doktor terapan dan doktor setara dengan jenjang 9;
i. lulusan
pendidikan profesi setara dengan jenjang 7 atau 8;
j. lulusan
pendidikan spesialis dengan jenjang 8 dan 9;
Hal
di atas berbeda dengan capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pelatihan
kerja serta pengalaman kerja. Pada pasal 6 ayat 1 Perpres No.8/2012 tentang
KKNI menerangkan “penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pelatihan
kerja dengan jenjang kualifikasi pada KKNI terdiri atas:
a. lulusan
pelatihan kerja tingkat operator setara dengan jenjang 1,2, dan 3;
b. lulusan
pelatihan kerja tingkat teknisi/ analis setara dengan jenjang 4,5, dan 6;
c. lulusan
pelatihan kerja tingkat ahli setara dengan jenjang 7,8, dan 9.
Bedanya pengakuan
kompetensi yang diperoleh melalui jalur pendidikan akan memperoleh ijazah dan
melalui pelatihan kerja akan diberikan sertifikat kompetensi yang diterbitkan
oleh lembaga sertifikasi profesi terakreditasi. Secara sederhananya, sebagai
contoh almarhumah Gayatri Wailesa (16 tahun) seorang putri asal Ambon yang
menguasasi 13 bahasa bisa memperoleh nilai kompetensi jenjang 9 atau jabatan
ahli, kendati dia tak pernah kuliah sampai jenjang S3 jurusan ilmu bahasa. Asma
Nadia tak lulus kuliah tapi mampu menerbitkan banyak novel yang diadopsi ke
film layar lebar dan televisi. Keahliannya dalam menulis bisa setara jenjang 9,
meskipun dia bukan alumni jurusan kepenulisan dan sastra. Tukang bengkel di
pinggir jalan bisa jadi nilai kompetensinya 6 atau sama dengan lulusan S1
jurusan otomotif FT UNY. Meskipun dia bukan alumni FT, tapi otodidak atau
mengikuti pelatihan kerja di tempat lain. Norma yuridis ini penting untuk
mengakui setiap kompetensi yang dimiliki oleh setiap warga negara.
Pasal
Pro dan kontra di Permendikbud No.49/2012
Salah satu pasal yang masih
diperdebatkan hingga saat ini yaitu pasal 17 ayat 3 mengenai masa studi
terpakai bagi mahasiswa dengan beban belajar khususnya pasal 17 ayat 3d
berbunyi “4 (empat) sampai 5 (lima) tahun untuk program diploma empat dan
program sarjana”. Batasan masa studi bagi S1 ini untuk menyelesaikan 144 SKS.
Nalar berfikir pemerintah ialah pertama, karena banyak input calon mahasiswa
yang masuk PTN dan PTS. Faktor yang mendorong ialah adanya UU No.12/2012 yang
mengharuskan setiap PTN menerima 20% mahasiswa tidak mampu dan pemberian
beasiswa bidik misi, sehingga mobilitas vertikal alumni SMA/SMK ke PT sangat
tinggi dalam beberapa tahun terakhir, maka outputnya
atau lulusannya juga harus sama banyaknya agar pengelolaan mahasiswa seimbang.
Maka agar lulusnya tertib perlu dibuat pembatasan masa stusi. Kedua, banyaknya
mahasiswa yang tidak selesai tepat waktu berpengaruh pada nilai akreditasi
sehingga dibuatkan norma tersebut. Ketiga, banyak PTN yang berorientasi
pengelolaannya menuju world class
university seperti UNY. Oleh sebab itu, agar kualitas terjamin diperlukan
standar yang jelas sebagaimana tertera dalam standar nasional pendidikan
tinggi.
Respon publik khususnya PTS
dan beberapa jurusan di PTN banyak menolak dengan argumen kualifikasi mahasiswa
PTS dan PTN berbeda, hal ini akan berpengaruh pada masa studi dan kelulusannya.
Menurut penulis perlu dibuat pasal lex
specialis atau pengecualian untuk jurusan tertentu seperti ilmu kedokteran
atau jurusan eksakta lainnya yang memerlukan masa studi lebih lama untuk
menguasai kompetensinya. Jadi peraturan masa studi ini tidak pukul rata semua
jurusan. Karena jika mahasiswa sampai akhir masa studi tidak selesai dan di drop out (DO) itu juga berpengaruh pada
akreditasi program studi. Agaknya ke depan akan ada sikap dari pembantu rektor
di setiap PT setempat untuk membatasi masa organisasi bagi mahasiswa agar cepat
selesai kuliah. Jika terjadi, maka akan mendapatkan pertentangan dari mahasiswa,
karena mahasiswa menganggap organisasi merupakan wahana untuk mengasah
kemampuan softskill (leadership,
manajemen organisasi, problem solving dsb) yang tak diperoleh di bangku kuliah.
Inilah tantangan mahasiswa untuk membuat manajemen waktu secara baik, agar
urusan akademik, riset, organisasi, dan mengabdi pada masyarakat tak bernilai
minus.
Selain
sibuk berorganisasi, menurut penulis salah satu kendala mahasiswa tidak lulus
ialah mengalami kesulitan dalam penulisan karya ilmiah atau skripsi. Oleh sebab
itu, kurikulum jurusan perlu sedikit dirubah untuk mendidik mahasiswa sejak
awal dan meningkatka gairah meneliti, yaitu sejak semester 3 perlu diberikan
materi kuliah penelitian dan internship dan itu tidak cukup hanya 2 SKS.
Sebagai contoh untuk S2 dan S3 ada Permendikbud No.49/2004 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi untuk program pascasarjana yang mendorong mahasiswa
menjadi peneliti. Peraturan ini berisi ke depan program magister dan doktor ada
72 SKS (Sistem Kredit Semester), menyesuaikan dengan capaian pembelajaran (CP).
Salah satu komponen CP program magister yaitu kemampuan menulis karya ilmiah
dalam jurnal terakreditasi dan bertaraf internasional. Adapun program doktor CP
yaitu mampu menulis karya ilmiah dalam jurnal nasional terakreditasi dan jurnal
internasional terindeks. Pada rincian 72 SKS tersebut, porsi penelitian dan
penulisan tesis memiliki porsi yang sangat besar 20 SKS, penulisan karya ilmiah
10 SKS dan 30 SKS untuk penelitian dan penulisan disertasi serta 20 SKS untuk
karya ilmiah internasional yang didistribusikan sejak semester pertama. Bukan
tidak mungkin standar nasional pendidikan tinggi juga akan dibuat untuk program
sarjana khususnya bagi kampus yang bervisi world
class university dengan banyaknya hasil riset sebagai parameternya.
Relasi perguruan tinggi,
industri, dan pemerintah
Pada
pemerintahan baru kabinet kerja Jokowi-JK dibentuklah kementerian riset,
teknologi, dan pendidikan tinggi. Tujuan
pembentukan ini adalah untuk mensinergikan lembaga pendidikan tinggi, riset,
dan dunia usaha. Selama ini industri menikmati lulusan perguruan tinggi untuk
bekerja di perusahaannya, tetapi belum begitu besar dukungannya dengan memberikan
beasiswa, peluang magang, atau kursus singkat kepada mahasiswa yang sedang
studi di kampus. Di termin lain, dosen, peneliti, dan mahasiswa yang melakukan
aktivitas riset sering kali kekurangan dana karena minimnya anggaran dana
penelitian dari pemerintah. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mendorong
perusahaan agar jangan hanya menampung alumni terbaik universitas dan
memanfaatkan hasil risetnya saja, tetapi juga memasok dana yang besar untuk
kepentingan penelitian dan studi para dosen dan mahasiswa sehingga terciptalah
hubungan “simbiosis mutualisme” antar ketiganya.
Pada sisi lain, ada opini dibaginya
urusan pendidikan menjadi dua kementerian, dianggap terlalu menyederhanakan
persoalan pendidikan. Sebab, dari jenjang dasar, menengah, atas, sampai pendidikan
tinggi membutuhkan koordinasi yang matang dan kebijakannya pun berkaitan erat
satu sama lain. Sebagai contoh, pada 2013 menteri Pendidikan dan Kebudayaan
menetapkan wajib belajar 12 tahun sampai SMA, dan Ujian Nasional (UN) yang
mereka ikuti selain menentukan kelulusan juga dapat dijadikan “paspor” untuk
masuk ke perguruan tinggi. Selain itu, untuk membuka akses pendidikan tinggi
bagi peserta didik yang tidak mampu, pemerintah mengeluarkan juga beasiswa
bidik misi. Dirjen Dikti tentu membutukan data dari dirjen Mendikdasmen untuk
mengetahui berapa kuota peserta didik yang akan menerima beasiswa bidik misi
dan sebaliknya. Menurut Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) jumlah penduduk
yang menikmati bangku kuliah baru sekitar 6-7 persen dari total populasi,
sedangkan untuk bangku SMA/SMK baru sekitar 20 persen. Dileburnya kementrian
yang mengelola pendidikan menjadi dua ini ditakutkan akan merenggangkan pola
koordinasi yang selama ini terjalin. Kontinuitas akses atau naiknya angka
partisipasi kasar dari SMA/SMK ke PT juga akan sulit terkontrol karena kantor
dan fokus garapan juga berbeda.
Selain itu, dibuatnya kementerian riset,
teknologi, dan pendidikan tinggi, tidaklah menjamin dalam sekejap mampu
meningkatkan hasil atau produk penelitian. Sebab, dana yang dikeluarkan
pemerintah masih sedikit dan fasilitas tak banyak mendukung para peneliti.
Justru yang perlu dilakukan ialah kampus harus menumbuhkan tradisi ilmiah
seperti membaca, menulis, berdiskusi dengan dukungan ruang akademik yang
memadai seperti perpustakaan dan ruang terbuka untuk berdiskusi dan akses
jurnal domestik dan internasional melalui internet untuk memantik budaya
meneliti. Sampai saat ini baru beberapa kampus besar seperti UGM dan UI yang
telah berlangganan jurnal internasional.
Kerja sama antara perguruan tinggi,
industri, dan pemerintah ini harusnya bukan hanya urusan riset saja, tetapi
juga pada pengabdian masyarkat. Tahun ini telah disahkan UU Desa dengan
anggaran 1 milyar per desa untuk memberikan kewenangan bagi desa mengelola
anggaran dan memakmurkan desa setempat sesuai dengan keunikan masing-masing. Seyogianya
pemerintah pusat dan daerah bisa mensinergikan dengan program KKN/PPL mahasiswa
di setiap kampus. Sebagai contoh, Goa Pindul lima tahun lalu dibuka oleh 4
orang tokoh di desan Bejiharjo kemudian pada masa penelitian jenis batuan dan
promosinya dibantu oleh mahasiswa Geologi UGM. Hal ini merupakan contoh KKN
yang mengimbas kuat di masyarakat. Pemerintah daerah perlu mengajak PTN/PTS
untuk membangun desa di daerahnya dengan memberdayakan mahasiswa KKN/PPL sesuai
dengan kompetensi jurusan masing-masing. Jadi mahasiswa tidak memilih tempat
sendiri, tapi diarahkan dan bersinergi dengan pemerintah daerah untuk membangun
daerahnya.
Komitmen
Anggaran
Perlu
diketahui, kementerian pendidikan tinggi, riset, dan teknologi bukanlah barang
baru di Indonesia. Pada 1960 an sebelumnya pernah dibentuk kementerian
pendidikan tinggi, tapi entah kenapa kementerian tersebut ditiadakan. Kebijakan
pembentukan kementerian pendidikan tinggi, riset, dan teknologi memiliki
konsekuensi logis dengan ditopang pagu anggaran yang kuat untuk merealisasikan
program. Malangnya semester pertama kabinet Jokowi-JK belum bisa melaksanakan
kebijakan yang optimal karena anggaran yang dipakai adalah warisan APBN-P 2014
dari presiden SBY.
Di era SBY-Boediono juga ada kementerian
riset dan teknologi tetapi hasilnya belum begitu mengemuka. Salah satu sebabnya
mungkin anggaran dana yang masih sedikit dan infrastruktur riset yang belum
mamadai. Indonesia saat ini menggelontorkan dana riset 0,08 persen dari APBN
atau sekitar 12 triliun. Angka ini masih kalah dengan negara maju seperti
Jepang dan Amerika Serikat yang menganggarkan 3,5-4 persen dari GDP. Pekerjaan
rumah Jokowi ke depan, jika kementerian ini jadi terbentuk perlu ditopang
naiknya anggaran riset, pengembangan infrastruktur seperti laboratorium, dan
melestarikan tradisi ilmiah di kampus.
Dunia
usaha selama ini dianggap menampung dan menggunakan hasil riset, tetapi belum
begitu besar kontribusinya dalam mendonasikan dananya kepada kampus yang
melakukan aktivitas riset. Di sisi lain, kegiatan riset sering kali tersendat
karena persoalan dana yang minim dan fasilitas yang tak mendukung untuk uji
penelitian. Menurut Kementerian Riset dan Teknologi, Indonesia hanya
menganggarkan 0,08 persen dari jumlah APBN atau setara dengan 12 triliun
rupiah. Nominal ini masih kalah jauh dengan negara maju yang mengalokasinya
3,5-4 persen dari GDP (Gross Domestic
Product). Singapura 2,72 persen untuk riset, Swedia 3,62 persen, bahkan
Israel mencapai 4,28 persen. Idealnya untuk negara dengan komposisi yang besar
seperti Indonesia, seyogianya mengeluarkan anggaran 3-5 persen dari GDP.
Minimnya anggaran riset dari negara, solusinya bisa dicarikan dari perusahaan
swasta, seperti Swedia yang 80 persen dana risetnya dari swasta. Berpijak dari
persoalan ini, perlu mendorong perusahaan swasta agar tak sekadar menerima
alumni terbaik universitas dan memanfaatkan hasil penelitiannya saja, tapi juga
memberikan bantuan dana riset yang besar ke PT sehingga terciptalah hubungan
timbal balik antara keduanya.
Konsekuensi logis ke depan
Jika
Jokowi mantap dengan digagasnya kementerian pendidikan tinggi, riset, dan
teknologi, tentu menuntut konsekuensi logis komitmen anggaran ke depan.
Semester pertama kabinetnya belum begitu optimal karena masih menggunakan
APBN-P warisan presiden SBY. Mau tidak mau anggaran riset harus mulai dinaikkan
setahap demi setahap. Selain anggaran yang kuat, PT juga dituntut menumbuhkan
tradisi ilmiah seperti budaya membaca, menulis, berdiskusi, dan meneliti dengan
menyediakan berbagai fasilitas pendukung seperti perpustakaan dan laboratorium
yang lengkap dan nyaman. Kedua, untuk menopang kementerian baru ini perlu
dibuat kurikulum pendidikan tinggi 2015 dan standar nasional pendidikan tinggi
dengan mengacu pada UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Ketiga,
dosen perlu diminta fokus untuk meneliti dan mengembangkan ilmunya. Sebab,
selama ini dosen selain mengajar mereka juga mengurus bagian akademik,
keuangan, kepala perpustakaan dsb. Pekerjaan seperti ini seharusnya dipegang
oleh tenaga kependidikan. Menanggapi masalah ini, empat tahun terakhir
Kemendikbud telah bekerja sama dengan beberapa kampus termasuk UGM untuk
membuka magister manajemen pendidikan tinggi dengan orientasi mencetak para
ahli pendidikan dan tenaga kependidikan untuk mengelola kampus. Sehingga dosen
bisa fokus dengan penelitian dan keilmuannya. Keempat, ada tumpang tindih
pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia. Setiap kementerian memiliki PT
sendiri yang diselenggarakannya atau disebut pendidikan kedinasan, seperti
Poltekes dibawah Kementerian Kesehatan, IPDN dibawah Kemendagri, Sekolah Tinggi
Multi Media dibawah Kominfo. Perlu dipertimbangkan sebaiknya dikelola
kementerian pendidikan tinggi agar setiap kementerian fokus pada program
kerjanya masing-masing.
Vivit Nur
Arista Putra
Aktivis
Pusaka Pendidikan
Mahasiswa
Magister Manajemen Pendidikan Tinggi UGM
@aristaputra88
CP: 085
228 302 376
0 komentar:
Posting Komentar