Dok. Pusaka Pendidikan |
Disampaikan
pada Pembekalan Mahasiswa FKIP Universitas Tidar Magelang di Hotel Eden,
Kaliurang, DIY, 9 Juni 2012.
RUU PT Penjelmaan UU
BHP
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Tujuan negara Indonesia salah satunya ialah mencerdaskan
kehidupan bangsa (alinea IV prembule UUD 45). Maka konstitusi mengamanatkan
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (Pasal 31 ayat 1), setiap WNI
harus mengikuti jenjang pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
(Pasal 31 ayat 2), dengan orientasi sistem pendidikan nasional untuk
meningkatkan iman dan takwa serta akhlak mulia atau karakter (Pasal 31 ayat 3).
Kemudian diderivasikan dalam UU Sisdiknas No. 20/ 2003. Langkah operasionalnya
pemerintah harus alokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan (Pasal 31 ayat 4).
Sebagai catatan kesemua pasal dan ayat di muka merupakan hasil amandemen UUD
1945 ke IV pada 10/8/2002.
Perguruan tinggi (PT) sebagai medium pematangan setiap warga
negara dipandang pemerintah memerlukan perangkat hukum tersendiri untuk
mengaturnya. Sebelum reformasi payung hukum PT ada pada peraturan pemerintah
(PP), tetapi sejak disahkannya UU Sisdiknas 20/2003 Pasal 19-25 bagian keempat PT
mempunyai kekuatan hukum lebih kuat. Kendati UU ini juga masih menjadi
debatable hingga kini. Bahkan UU Sisdiknas Pasal 24 ayat 2 jelas mengatakan PT
memiliki otonomi untuk mengelola lembaganya. Selain itu, pada pasal 50 ayat 6
juga dikatakan PT dapat menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam
mengelola pendidikan di lembaganya. Di sisi lain PT dapat memperoleh dana dari
masyarakat pasal 25 ayat 3. Pasal terakhir rawan diselewengkan dengan menarik
berapapun uang jika tak dibatasi. Oleh sebab itulah dalam RUU PT dijelaskan
lebih detail.
Lebih khusus UU Sisdiknas juga menyebutkan satuan pendidikan
(artinya setiap jenjang pendidikan) yang didirikan pemerintah atau masyarakat
berbentuk badan hukum (pasal 53 ayat 1). Kemudian ketentuan tentang badan hukum
pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4). Berpijak
dari pasal ini, pemerintah membuat UU No. 9/ 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (BHP) yang mendapatkan protes keras dari masyarakat lantaran
bermuatan liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Akhirnya pada Maret 2010 mahkamah
konstitusi memveto UU BHP karena dianggap hendak mengelola pendidikan dengan
gaya korporasi. Sejak itu terjadilah kekosongan hukum bagi kampus yang dan akan
disiapkan menjadi BHMN (UI, UGM, ITB, IPB, UPI, UNAIR, dan USU). Nah, kemudian
muncullah usul untuk membuat UU pengganti yang kini masih polemik yakni RUU PT
karena dianggap sebagai jelmaan UU BHP.
Di termin lain, pada UU Sisdiknas Bab VIII tentang pendanaan
pendidikan dijabarkan pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat (Pasal 46 ayat 1). Beberapa poin
di atas saya sampaikan agar sebagai pengantar dan acuan untuk mengkritisi RUU PT
atau RUU apapun itu tidak boleh kontradiksi dengan UU lainnya, apalagi
konstitusi tertinggi (ini kaidah hukumnya). Menurut analisa Prof. Sofyan
Effendi (mantan rektor UGM), melalui penandatanganan GATS pemerintah Indonesia
telah menggeser paradigma penyelenggaran pendidikan yang seharusnya menjadi
tanggungjawab negara (pemerintah pusat). Menjadi tanggung jawab pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat (tertera di UU Sisdiknas). Terutama pada
titik pendanaan.
Apa itu GATS? Adalah General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) alias Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan yang berdiri 1948.
Sejak tahun 1948-1994 sistem GATS membuat peraturan-peraturan mengenai
perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional
tertinggi.
Beberapa tahun kemudian 1 Januari 1995 didirikanlah World
Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia yang merupakan
satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah
perdagangan antar negara. tujuan adalah
membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam kegiatan
perdagangan. Indonesia sebagai salah satu negara pendiri WTO, telah
meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994. Pada 2000
dihelat Putaran Doha dengan hasil kesepakatan bahwa GATS mencakup 12 sektor
jasa diperdagangkan. Salah satunya pendidikan. Konsekuensinya, karena ini
merupakan persetujuan antar negara, maka mengikat pemerintah untuk mematuhi dan
melaksanakan kebijakan perdagangannya. Maka dibuatlah UU Sisdiknas 20/2003 dan
Perpes No. 77/ 2007 yang menyatakan bahwa sektor pendidikan dapat ditanami
modal asing hingga 49%. Maka telah legallah kapitalisasi pendidikan di negeri
ini.
Arus globalisasi mendera pelbagai segmen kehidupan, termasuk perguruan
tinggi dan memaksanya untuk mengelolanya tanpa batas atau tanpa intervensi
pemerintah. Hal ini didorong karena keterbatasan dana, kesadaraan akan
pendidikan yang semakin menguat (khususnya pendidikan tinggi) lantaran kini
lapangan kerja menuntut ijazahnya, dan kecanggihan teknologi yang membuat PT
menggelar pendidikan secara online. Contoh universitas terbuka.
Ketiganya dimanfaatkan PT di negara maju untuk
mengkomersilkan jasa pendidikan melalui kuliah jarak jauh, mendirikan PT di
negara berkembang dengan konsep francise, dan membuka selebar-lebarnya
mahasiswa asing yang ingin kuliah di tempatnya dengan tarif yang tak sedikit.
Serta mengirimkan tenaga pendidikan dan kependidikan untuk mengajar di PT
negara dunia ketiga. Untuk merealisasikannya dibutuhkan legalitas dengan
membuat UU yang mendukung proyek liberalisasi pendidikan. Indonesia dengan komposisi
penduduk terbesar 230 juta jiwa dipandang sebagai pangsa pasar terbesar dan
prospektif untuk menjual jasa pendidikan di sini. Karena mereka yang nantinya
menjadi konsumen.
Untum mewujudkan kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan
inilah dibuat UU pendukung yakni UU Sisdiknas dan RUU PT. Pada 4 April 2012 RUU
PT ditunda pengesahannya oleh Mendiknas karena mendadak mendapat instruksi
Presiden untuk merevisi dan menambahkannya berkaitan dengan peran PT sebagai
dalam menciptakan pemimpin masa depan bangsa, transformasi demokrasi, dan peran
untuk menjaga konvergensi peradaban. Saya katakan tikak semua buruk, namun juga
ada pasal karet dan membuka celah liberalisasi. Berikut analisa pasal per
pasalnya.
Pasal 49 ayat 2b
“sumber belajar (PT) salah satunya berbentuk lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif”. Maksudnya apakah lembaga resmi Kementrian, DPR/DPRD, MA/MK?
Atau mahasiswa dapat membuat miniatur negara dalam wujud BEM, DPM, dan mungkin
kelak mahkamah konstitusi mahasiswa sebagai wahana edukasi politik mahasiswa
melalui kegiatan role play (bermain
peran). Sebab peran kampus adalah mendekatkan mahasiswa pada realitas bukan
menjauhkannya. Jika yang dimaksud tafsir kedua maka mahasiswa punya legitimasi
kuat untuk membuatnya dan kampus harus menyediakannya. Inilah peluang
demokratisasi tumbuh di kampus.
Pasal 52 ayat 1
“sertifikat kompetensi merupakan pengakuan atas prestasi lulusan yang sesuai
keahlian dalam cabang ilmunya dan atau mempunyai prestasi di luar program
studinya”. Apakah maksudnya seperti skill menulis, menguasai bahasa asing,
penemu teori atau alat baru. Jika demikian kampus harus memberikan sertifikat
tambahan selain gelar akademik.
Pasal 50 ayat 1
“internasionalisasi merupakan proses pendidikan tinggi di Indonesia untuk
berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan keindonesiaan untuk
meningkatkan kedaulatan bangsa dan martabat bangsa”. Pasal 52 ayat 2
“internasionalisasi sebagaimana dimaksud ayat 1 dilakukan melalui
pengintegrasian dimensi internasional dan lintas budaya ke dalam kegiatan
akademik”. Pasal ini mempunyai sisi positif dan negatif. Prediksi penulis
segi positifnya akan banyak terjadi pertukaran mahasiswa ke depan. Apalagi jika
pembentukan masyarakat ASEAN ala UNI EROPA disepakati 2015 nanti. Ada
kemungkinan kita masuk negara asia tenggara tanpa visa. Selain itu juga
dibukannya pusat studi Indonesia di dalam dan luar negeri. Aspek negatifnya,
perhatikan kata pengintegrasiaan dimensi internasional. Dapat dimaknai
menyatunya budaya dan ideologi asing yang bisa saja berbenturan dan merusak identitas
bangsa jika tak difilterisasi.
Pasal 74 ayat 1 “PT
mempunyai otonomi untuk mengelola lembaganya”. Pasal 76 ayat 2 “Pengelolaanya
meliputi akademik (norma, kebijakan operasional, dan pelaksana tridharma)”.
Pasal 76 ayat 3 “otonomi nonakademik meliputi organisasi, keuangan,
kemahasiswaan, ketenagaan, sumber belajar, dan sarana prasarana lainnya”. Otonomi
pada bidang keuangan memungkinkan kampus mencari uang sendiri. Artinya support
financial pemerintah perlahan berkurang. Apalagi jika kampus tersebut berbentuk
otonomi penuh. Tetapi prediksi penulis setiap kampus akan enggan berstatus
otonomi penuh karena ingin tetap mengakses dana pemerintah. Contoh otonomi
keuangan manifestasinya pada pembukaan lahan usaha (pasal 69 ayat 3e). Dengan
pasal ini komersialisasi kampus mempunyai legitimasi, seperti memakai fasilitas
gedung bayar dengan harga tinggi, membuka hotel, lapangan olah raga, bisnis
SPBU dsb. Jika demikian tak ada bedanya dengan BHP.
Pasal 76 ayat 1:
penerimaan mahasiswa baru selain melalui pola penerimaan mahasiswa nasional
juga via bentuk lain. Lantaran ada kata “bentuk lain”. Dikhawatirkan untuk
mengakomodasi jalur mandiri yang mahal yakni seleksi mandiri yang otoritatis
dihelat setiap kampus di luar SNMPTN.
PT mempunyai otonomi dengan kewenangan akademik dan
nonakademik. Pasal 77 ayat 5 “sebagian
wewenang nonakademik adalah wewenang pengelolaan keuangan secara mandiri”. Frase
pengelolaan keuangan secara mandiri dapat diterjemahkan pemerintah seakan lepas
tangan pada pendanaan PT.
Pasal 80 ayat 1 “PT
berstatus otonom menerima mandat penyelenggaraan PT dari pemerintah melalui
pembentukan BHP yang bersifat nirlaba”. Semakin mempertegas RUU PT
penjelmaan UU BHP.
Pasal 77 ayat 1 “PT
wajib menjaring calon mahasiswa baru yang memiliki potensi akademik tinggi tapi
tidak mampu secara ekonomi, untuk diterima paling sedikit 20% dari seluruh
mahasiswa baru yang diterima”. Kontradiksi dengan UU 1945 Pasal 31 ayat 1.
Serta diskriminatif, karena mahasiswa dengan kemampuan pas-pasan tak dapat
mengakses PT.
Pasal 79 ayat 1
“pemerintah, pemda, dan PT wajib memenuhi hak mahasiswa yang tak mampu secara
ekonomi”. Bentuknya via beasiswa, bantuan, dan memberikan pinjaman dana kepada
mahasiswa (pasal 90 ayat 2c). Artinya kampus mengajari mahasiswa utang
piutang. Bukankah ini model pengelolaan ala korporasi. Pinjaman ini diberikan
tanpa atau dengan bunga dan wajib dilunasi mahasiswa setelah lulus atau dapat
pekerjaan (Pasal 79 ayat 3,4). Lantas di mana peran negara? Seharusnya negara
memberikan subsidi silang pada mahasiswa tak mampu. Bukankah ini menunjukkan
korporasi menaklukkan negara.
Negara
Lepas Tangan Membiayai Pendidikan (Pasal 89 ayat 1) “Perguruan
Tinggi dapat berperan serta dalam pendanaan pendidikan tinggi melalui kerja
sama pelaksanaan Tridharma”.
“Pendanaan pendidikan tinggi dapat
juga bersumber dari
biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan
mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain
yang membiayainya”
(Pasal 89 ayat 2). Di sini ada dua variabel (mahasiswa dan orang
tua). Artinya mahasiswa yang notabene belum mempunyai penghasilan dan masih
meminta orang tua harus ikut serta menanggung biaya pendidikan untuk
operasional perguruan tinggi. Hal ini merupakan wujud lepas tangan negara
mendanai pendidikan tinggi.
Pasal 94 “PT negara
lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di indonesia”. Ihwal ini tak
sekadar investasi pendidikan dan sosial, namun juga harus dipandang ekspansi
ideologi dan budaya asing yang harus diwaspadai. Globalisasi memungkinkan itu
terjadi. Jika tanpa filterisasi, maka arus westernisasi dan kepentingan asing
akan kuat mencengkeram negeri ini.
Sebagai catatan, kendati PT ke depan otonomi tetapi
kewenangan Mendikbud masih sangat besar dengan peraturan menteri untuk
menderivasikan RUU PT di muka. Belum lagi ditambah peraturan pemerintah (PP).
Berpijak dasar argumentasi
di muka, maka Pusaka Pendidikan menyatakan sikap:
1.
Tolak RUU PT versi pemerintah dan menghapus
beberapa pasal yang bermuatan liberalisasi, komersialisasi, dan kapitalisasi
pendidikan.
2.
Tuntut keterlibatan negara pada jenjang
pendidikan tinggi untuk mewujudkan pendidikan murah dan terjangkau bagi semua
kalangan.
3.
Pemerintah harus melakukan sosialisasi dan
uji publik kepada insan pendidikan khususnya mahasiswa untuk merumuskan RUU PT
tanpa muatan liberalisasi, komersialisasi, dan kapitalisasi pendidikan sebelum
masa sidang keempat di komisi X di DPR RI.
Vivit
Nur Arista Putra
Aktivis
Pusaka Pendidikan
akuvivit.blogspot.com
CP:
085228302376
Bagi
kawan-kawan yang ingin diskusi pendidikan lebih detail silahkan gabung ke group
Pusaka Pendidikan
0 komentar:
Posting Komentar