No. : Pusaka/4/1/2013
Lampiran :
9 lembar
Hal :
Hasil Kajian dan Rekomendasi Kurikulum
2013
Yth.
Komisi X DPR RI
di tempat
Assalamu’alaikum wr.wb.
Segala puji bagi
Allah S.W.T. Rabb sekalian alam, shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W., keluarga, sahabat, dan para pengikutnya
yang setia hingga akhir zaman. Amiin.
Atas dasar dinamika kebijakan pendidikan nasional dengan
perubahan kurikulum baru 2013, Pusaka Pendidikan selaku eleman mahasiswa dan
masyarakat yang fokus mengkaji dan mengadvokasi pendidikan melakukan
serangkaian diskusi dan mengkritisi draf kurikulum 2013. Kami ajukan ke anggota
komisi X DPR RI “Hasil Kajian dan Rekomendasi terhadap Kurikulum baru 2013”
sebagai masukan demi perbaikan pendidikan ke depan menuju generasi emas 2045.
Demikian
surat dan hasil kajian kurikulum 2013 dari kami, atas diterimanya dokumen ini
sebagai pertimbangan mengambil keputusan kami mengucapkan terima kasih.
Wassalamu
‘alaikum wr.wb.
Yogyakarta, 7 Januari 2013
Bismilllahirahmanirahim.
Pemerintah
untuk kesekian kalinya melakukan perubahan kurikulum. Hal ini dilakukan untuk
menghadapi tuntusan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang
pesat. Selain itu, misi jangka panjangnya adalah menyiapkan generasi emas 2045.
Pada beberapa tahun
mendatang, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Jika dapat mengelolanya
dengan baik tentu jumlah penduduk yang melimpah akan menyokong pertumbuhan
ekonomi negara, jika tidak mampu mengelola sumber daya manusia dengan baik
malah akan menjadi beban negara, karena Negara harus mencukupi kebutuhan
kesehariannya.
Menurut
data, kini komposisi demografi menempatkan usia produktif paling tinggi
diantara usia anak-anak dan lansia. Rinciannya, kelompok usia 0-9 tahun
berjumlah 45,93 juta, 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta. Pada 2045, mereka yang
berusia 0-9 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan mereka yang berumur 10-19
tahun akan berusia 45-54 tahun (Republika, 29 Oktober 2012).
Untuk
memoles sumber daya manusia melimpah ruah inilah dibutuhkan proses pendidikan
yang baik. Inilah salah satu alasan mengapa kurikulum pendidikan nasional kini
mengalami perubahan. Organ pendidikan yang menjadi pedoman adalah kurikulum.
Sebelum membuat perencanaan kurikulum baru perlu dilakukan evaluasi kurikulum.
Para ahli menjabarkan tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan kurikulum di satuan pendidikan diperlukan evaluasi kurikulum. Menurut Oemar Hamalik (2006: 238)
evaluasi kurikulum adalah proses pembuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat
kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan untuk membuat
keputusan mengenai suatu kurikulum.
Perspektif
lainnya diungkapkan Mohamad Ali (1985: 124), evaluasi kurikulum sebenarnya
bukan hanya semata-mata dilakukan terhadap salah satu komponen saja, melainkan
terhadap seluruh komponen, baik tujuan, bahan, organisasi, metode, maupun
proses evaluasi itu sendiri.
Definisi
berikutnya disampaikan Ralph Tyler (Suharsimi Arikunto, 2005: 3) evaluasi
kurikulum adalah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam
hal apa dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai. Cronbach dan
Stufflebeam menambahkan (Suharsimi Arikunto, 2005: 3) evaluasi tidak sekadar
mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi juga digunakan untuk membuat
keputusan, sehingga evaluasi kurikulum adalah mengukur sejauh mana ketercapaian
kurikulum yang dibuat dengan data-data yang telah dikumpulkan.
Oemar Hamalik (2006: 239) mengatakan tujuan evaluasi
kurikulum adalah untuk memperoleh informasi yang akurat sebagai bahan
pertimbangan untuk membuat keputusan tentang kurikulum, yang meliputi:
1) Keputusan
tentang perencanaan kurikulum yang mengarah ke pencapaian tujuan umum dan
khusus.
2) Keputusan
tentang komponen masukan kurikulum seperti ketenagaan, sarana prasarana, waktu
dan biaya.
3) Keputusan
tentang implementasi kurikulum yang mengarahkan kegiatan-kegiatan pengajaran
dan latihan.
4) Keputusan
tentang produk kurikulum yang menyangkut efek dari program pendidikan.
Argumentasi
lainnya dijelaskan Nasution (1999: 88) tujuan evaluasi kurikulum meliputi:
1) Mengetahui
sampai manakah peserta didik mencapai kemajuan ke arah tujuan yang telah
ditentukan.
2) Menilai
efektivitas kurikulum.
3) Menentukan
faktor biaya, waktu, dan tingkat keberhasilan kurikulum.
Setelah
mengkaji identifikasi masalah pada uji publik kurikulum 2013 dan berdiskusi
dengan beberapa tokoh dan pakar pendidikan. Pusaka Pendidikan mencoba
mengkritisi perubahan kurikulum 2013. Berikut poin per poin yang dapat kami
jelaskan:
A.
Menurut logika manajemen, sebelum
merencanakan kurikulum baru 2013 seyogianya perencanaan tersebut didasarkan
pada evaluasi terhadap kurikulum lama (KTSP 2006). Faktanya hasil evaluasi
tersebut belum dipublikasikan Kemendikbud dan KTSP 2006 masih tetap saja
berjalan. Rentang waktu 1 dekade, kita mengalami perubahan kurikulum sebanyak
tiga kali, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004) hasil pembaharuan
kurikulum 1994, kemudian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006),
setelah itu disusul kurikulum 2013.
Ada beberapa permasalahan kurikulum
2006 versi Kemendikbud yang kami elaborasi dengan argumentasi Pusaka Pendidikan:
1.
Konten
kurikulum masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran
dan banyak materi yang keluasan dan kesukarannya melampaui tingkat perkembangan
usia anak. Oleh sebab itu Kurikulum 2013 dibuat secara tematik
integratif, peminatan, dan penambahan jam pelajaran 4 jam/ pekan. Hal ini
menuntut pemahaman guru yang mendalam terhadap kurikulum baru dan kompetensi
serta kreatifitasnya guru dalam mengajar.
2.
Beberapa kompetensi yang dibutuhkan
sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman, belum terakomodasi di dalam
kurikulum. Misalnya:
a.
Pendidikan agama sebagai pondasi
pendidikan karakter porsinya hanya 2 jam per pekan. Hal tersebut terlalu
sedikit. Menurut Pusaka Pendidikan idealnya 4-5 jam per pekan. Di sekolah
Muhammadiyah mapel agama malah diberlakukan 7 jam per pekan. Kami mendukung
alokasi waktu dari Kemendikbud untuk tiga tawaran alternatif struktur kurikulum
SD dengan memberikan jatah waktu 4 jam per pekan untuk pendidikan agama. Tetapi
dengan catatan tetap harus mengajarkan mata pelajaran IPA dan IPS karena kedua
mapel ini merupakan amanat UU Sisdiknas.
b.
Metodologi pembelajaran aktif,
keseimbangan soft skills dan hard skills belum begitu dilakukan.
Komunikasi pembelajaran selama ini hanya satu arah. Jika pramuka diwajibkan di
kurikulum 2013, Pusaka Pendidikan sangat mengapresiasi karena pramuka dapat
berperan menempa sisi leadership dan problem solving (soft
skills) di sekolah. Selain itu, pramuka dapat memberikan alternatif
kegiatan yang positif karena kini anak berada pada lingkungan masyarakat dan
pergaulan sejawat yang tak sehat. Adanya pramuka, membuat anak dirangsang untuk
proaktif bersikap dan berlatih belajar kerja sama satu tim untuk memecahkan
persoalan.
c.
Materi kewirausahaan belum diakomodasi
di jenjang pendidikan atas. Untuk perguruan tinggi sebagian sudah
memberikannya. Menurut penelitian ahli ekonomi, untuk menopang kelas menengah
baru setidaknya di setiap negara memiliki wirausahawan 2,5% dari total jumlah
penduduk. Kini Indonesia baru memiliki 0,8 % wirausaha dari total jumlah
penduduk. Pemerintah dapat mendorong SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) untuk
membuka jurusan kewirausahaan untuk mencipta selapis generasi wirausahawan
muda. Nilai positifnya jika alumninya tidak melanjutkan ke perguruan tinggi,
mereka dapat membuka usaha sehingga tidak menjadi pengangguran terdidik.
d.
Kurikulum
belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat
lokal, nasional, maupun global. Jika pemerintah hendak menerapkan
pembelajaran tematik integratif di kurikulum 2013. Isu tematik berikut layak
untuk dijadikan pertimbangan agar dimasukkan dalam pembelajaran. Seperti;
pendidikan anti korupsi, pendidikan karakter, pendidikan ekonomi kreatif,
pendidikan HAM, pendidikan pengurangan resiko bencana, pendidikan lingkungan
hidup, nuklir, pendidikan kelautan, pendidikan lalu lintas, dan pendidikan
pencegahan terhadap narkoba dan HIV AIDS.
e.
Indonesia menganut sistem guru kelas.
Konsekuensinya pendidik harus menguasai hampir semua mata pelajaran (kecuali
mata pelajaran agama, seni budaya, dan pendidikan jasmani) diampu oleh satu
orang. Solusinya pembelajaran tematik dapat membantu meringankan tugas guru
kelas. Gagasan Mendikbud untuk mencetak master teachers tidaklah
diperoleh secara instan, tetapi membutuhkan proses 2-3 tahun ke depan untuk
proses pematangan dan penguasaan sesuai dengan standar kompetensi setiap materi
pelajaran. Apalagi bagi S1 PGSD yang baru lulus, tentu membutuhkan waktu lebih
lama untuk adaptasi dan menguasai materi.
B.
Pemerintah menawarkan 3 alternatif untuk
struktur kurikulum SD. Alternatif pertama mapel IPA dan IPS ditiadakan sebagai
disiplin ilmu (bahasa Pak Nuh diintegrasikan). Sedangkan alternatif kedua dan
ketiga masih diadakan. Pusaka Pendidikan bersikap, mapel IPA dan IPS tetap
penting diberikan untuk siswa SD sebagai disiplin ilmu tersendiri bukan
diintegrasikan. Kedua varian pengetahuan di atas penting sebagai pijakan bagi
siswa untuk mengenal dan mempelajari fenomena alam sekitar dan mempelajari ilmu
sosial serta humaniora sebagai bekal untuk mengetahui norma sosial, adat
istiadat, dan interaksi sosial.
Secara
teoritis anak SD kelas IV-VI sudah dapat menalar kedua mapel di muka. Menurut
Jean Piaget, teori kognitif manusia dibagi menjadi empat:
1.
Stadium sensori motorik (0-18 atau 24 bulan)
2.
Stadium pra operasional (18/24 bulan – 7 tahun)
3.
Stadium operasional konkrit (7 tahun – 11 tahun)
4.
Stadium operasional formal (11
tahun ke atas)
Stadium operasional
formal berusia 11 tahun atau setara kelas IV-VI cara berfikirnya tidak terikat
atau terlepas dari tempat dan waktu. Artinya pada usia ini anak mampu berfikir
konsep dan abstrak seperti yang terkandung dalam mapel IPA dan IPS. Jadi secara
usia anak, mereka mampu menerima.
Selain itu, jika
pemerintah tetap menghapus IPA dan IPS dijenjang SD, secara yuridis melanggar
konstitusi Pasal 37 ayat 1 (e) dan (f) UU No. 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang berbunyi “kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat
... (e) ilmu pengetahuan alam dan (f) ilmu pengetahuan sosial” dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar
nasional pendidikan bab III bagian kedua kerangka dasar dan struktur kurikulum
pasal 6 ayat 1. Jika
Kemendikbud bersikeras untuk menghapus, akan berpotensi digugat melalui judicial
review.
C.
Pusaka Pendidikan mencermati dari
alternatif usulan struktur kurikulum SD tidak tertera bahasa daerah. Menurut kami untuk melestarikan
bahasa daerah, mapel bahasa daerah layak diberikan sejak dini. Pemberian mapel
ini tak sekadar untuk menjaga eksistensi bahasa jawa, tetapi juga mengajari
anak berkomunikasi bahasa daerah yang santun dengan orang tua, teman sejawat,
dan karib kerabat. Mungkin mapel bahasa jawa dapat diintegrasikan dengan mapel
seni dan budaya dengan catatan standar kompetensinya tidak dicampur adukkan
dengan mapel lain. Atau dapat pula mapel bahasa jawa menjadi disiplin ilmu
tersendiri, sedangkan seni dan budaya dijadikan tematik integratif. Rencananya bahasa Inggris, TIK, Penjaskes untuk SD
akan dipindah dari kokurikulum menjadi mapel ekstrakurikuler. Hal ini tentu
menimbulkan polemik mengingat bahasa Inggris jadi menu ujian SMP nantinya. Jika
tak diberikan sejak awal dan anak didik jika tak fokus belajar bahasa Inggris
dalam waktu 3 tahun akan kesulitan nantinya. Selain itu, jika mapel TIK dan
Penjaskes dihapus akan membuat guru menganggur. Jika diminta mengajar mapel
lain, tentu ini tak sesuai dengan kompetensinya.
D.
Pusaka Pendidikan memandang mapel IPA
dan IPS untuk jenjang SD-SMP tetap harus dijadikan disiplin ilmu tersendiri
bukan tematik, integrative science, dan integrative sosial studies.
Karena paradigma keilmuannya dan standar kompetensinya berbeda sehingga
membutuhkan pendalaman dengan sudut pandang belajar dengan mapel tersebut bukan
mapel lain. Penggabungan ini berpotensi menggerus standar kompetensi mapel
pasangannya, karena arah pengajarannya tidak fokus.
Di termin lain, disiplin ilmu IPA
dan IPS di jenjang SMP dapat dijadikan pondasi untuk mengambil salah satu
jurusan di SMA. Meskipun penjurusan di SMA akan dihapus, tetapi Pusaka
Pendidikan bersikap penjurusan tersebut penting dan harus tetap ada sebagai
pijakan keilmuan
untuk mengambil konsentransi jurusan ketika di perguruan tinggi. Bagaimana pun
juga, kepakaran dan spesifikasi keilmuan sangat penting. Karena ke depan
seseorang dituntut mempunyai kecerdasan sesuai dengan kepakaran, bakat, dan
minatnya.
E.
Ada empat standar kurikulum yang
mengalami perubahan, meliputi standar kompetensi lulusan, proses, isi, dan
standar penilaian. Kesemuannya ujung tombak implementasinya adalah pendidik. Malangnya
pendidik yang bersinggungan langsung dengan peserta didik untuk membina,
menilai, dan meluluskannya tidak dilibatkan pada proses pembuatan kurikulum.
Padahal merekalah yang memahami kondisi realitas di lapangan.
Pada
UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas bab XI tentang pendidik dan tenaga
kependidikan pasal 39 dipaparkan ayat 2 “pendidik merupakan tenaga profesional
yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.
Di sisi lain pada UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas bab XVI perihal evaluasi
pendidikan pasal 58 mengungkapkan “Evaluasi hasil belajar mengajar peserta
didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan
hasil belajar peserta didik secara kesinambungan”. Untuk merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, pendidik harus memahami kurikulum (lihat PP
No.74/2008 tentang Guru bab II tentang kompetensi dan sertifikasi bagian kesatu
kompetensi pasal 3 ayat 4 poin c).
Seyogianya
keberadaan pendidik mutlak harus dilibatkan dalam proses penyusunan kurikulum nasional
untuk mengatur beban mengajar dan jam setiap mata pelajaran, karena pendidiklah
yang bersinggungan di kelas sehingga tidak memberatkan tugas pendidik karena
mereka juga butuh waktu untuk belajar, mengembangan diri dan kompetensinya. Acuannya
adalah PP No.74/2008 tentang Guru bagian keduabelas tentang kesempatan berperan
dalam penentuan kebijakan pendidikan Pasal 45 ayat 11 “guru memiliki kesempatan
untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat satuan
pendidikan, kabupaten/ kota, provinsi, dan nasional”. Pasal 2 kesempatan untuk
berperan dalam penentuan kebijakan di tingkat satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf a meliputi (1) penyusunan kurikulum tingkat satuan
pendidikan dan silabusnya dan (3) penyusunan rencana strategis.
Cara negara kita memperlakukan guru
adalah cerminan cara kita memperlakukan masa depan. Baik dan buruknya suatu
kurikulum, tergantung bagaimana guru menafsirkan dan menerapkannya. Adapun yang
perlu diperhatikan adalah, 1) pemahaman guru terhadap kurikulum 2013. 2)
kompetensi dan kreatifitas guru dalam mengajar meliputi metode pembelajaran dan
penguasaan disiplin ilmu yang beragam khususnya guru SD.
F.
Menimbang tujuan pendidikan nasional
sebagaimana tertera dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pada bab II dasar,
fungsi, dan tujuan pasal 3 berbunyi “pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Pusaka
Pendidikan mengusulkan agar pemberian posi jam pelajaran pendidikan agama
diperbanyak menjadi 4-5 jam per pekan dari jenjang dasar sampai pendidikan
tinggi. Problemnya selama ini pendidikan kita lebih banyak mengolah sisi
kognitif. Mendatang perlu mengasah sisi afektif dan psikomotor. Catatannya
adalah mapel agama akan menjadi mapel yang mengarah pada sisi kognitif jika
tidak dikontrol pada proses amalan harian. Pendidik pun dituntut untuk
memberikan teladan yang baik dalam ibadah dan akhlak karena itu adalah hidden
curriculum yang juga berperan besar membentuk karakter anak.
G.
Jika Pramuka menjadi mapel wajib dalam
kurikulum 2013, Pusaka Pendidikan mendukung kebijakan ini untuk mengasah sisi
kepemimpinan, keberanian, dan kerja sama tim. Masukannya adalah:
1.
Standar kompetensi lulusannya harus
jelas dan membutuhkan pendidik yang profesional juga.
2.
Kepala sekolah dan guru harus mendukung
penuh berjalannya pramuka karena merupakan bagian dari pembentukkan karakter
bangsa.
3.
Dinas pendidikan harus menyediakan
sarana seperti bumi perkemahan dan kegiatan lain untuk mengup grade dan
menilai perkembangan afektif dan psikomotorik dengan kompetensi yang terukur.
H. Pemerintah
ingin agar pembelajaran tak berorientasi out put saja tetapi juga
memalui proses yang matang dengan membuat catatan portofolio setiap anak.
Konsekuensinya sistem penilain ujian nasional harus dirombak karena, UN membuat
mind set pendidik dan peserta didik mengejar satu kata pragmatis; lulus.
Dampaknya proses belajar mengajar pun seperti bimbingan belajar dan berpotensi
mengabaikan mapel lain yang tidak diujikan di UN. Kendati kini UN, perannya tak
menjadi parameter kelulusan tunggal dan tetap mengakomodasi pendidik sebagai
evaluator pendidikan, dengan porsi 60:40. Namun peserta didik masih
berpandangan untuk lulus harus melampaui passing grade mapel yang
diujikan di UN.
Pijakan dasar
pelaksanaan ujian nasional (UN) tertera jelas dalam PP 19/2005 Standar Nasional
Pendidikan BAB X tentang Standar Penilaian Pendidikan pasal 68. Pada pasal
tersebut diputuskan hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu
pertimbangan untuk; pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar
seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik
dari program dan atau satuan pendidikan dan pembinaan dan pemberian bantuan
kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Peraturan Pemerintah yang baru PP No. 10/ 2010 isinya menyatakan peserta didik
yang tak lulus ujian nasional dapat melakukan ujian ulangan malah menunjukkan
mulai melunaknya sikap pemerintah karena mendapat tekanan dari banyak pihak
yang menolak penerapan UN sebagai wujud evaluasi.
Alasan penolakannya ialah, pertama mengabaikan
pendidik sebagai evaluator pendidikan. UU Sisdiknas BAB XVI perihal evaluasi
pendidikan pasal 58 mengungkapkan “Evaluasi hasil belajar mengajar peserta
didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan
hasil belajar peserta didik secara kesinambungan”. Kedua, pemerintah berperan
mutlak dalam penentuan kelulusan dan mengabaikan pendidik yang mengetahui
persis perkembangan anak. Ketiga, UN menilai secara kognitif. Sedangkan afektif
dan psikomotorik terabaikan. Padahal keduanya yang lebih faham adalah pendidik.
Ihwal ini menjadikan anak berfikir konvergen (satu arah). Keempat,
penyelenggaraan UN selama 3 hari atau 2 jam per hari tidaklah menghargai proses
belajar mengajar peserta didik selama 3 tahun. Kelima, UN kontradiktif dengan pembentukan karakter anak. Efek
mendasarnya akan merusak sistem pendidikan. Bayangkan, menjelang UN per sekolah
pasti akan menggelar uji coba (try out). Hal ini tentu mengurangi beban
belajar yang mestinya diperoleh siswa.
Insiden UN ini
juga berimbas pada psikis atau mental pendidik dan peserta didik. Cara pandang
dan cara mengajar guru menjadi pragmatis. Mengukur keberhasilan dari segi
hasil, bukan serangkaian proses. Sekolah pun akhirnya hanya akan memfokuskan
proses belajar-mengajar pada mapel yang diujikan di UN, karena hasil UN
menyangkut prestise satuan pendidikan. Peserta didik pun demikian, pola belajar
mereka menjadi monoton satu arah pada mapel yang ditawarkan di UN dan
kemungkinan besar mengabaikan mapel lainnya. Inilah yang berpotensi memunculkan
kecurangan massal, antara pendidik, peserta didik, bahkan sekolah.
Mulai April 2014 tidak akan
diberlakukan UN untuk SD dan rencananya diganti dengan ujian regional. Menurut
penulis, agaknya pemerintah dilematis. Sebab, jika UN tetap diberlakukan dan
ada siswa SD yang tidak lulus, maka akan dianggap menghambat wajib belajar 9
tahun sampai jenjang SMP yang ditargetkan pemerintah. Begitupun seterusnya,
diprediksikan ke depan UN untuk SMP kemungkinan akan dihapus karena wajib
belajar 12 tahun mulai diberlakukan tahun mulai 2013. Adapun UN untuk SMA
selain menentukan kelulusan juga sebagai paspor untuk masuk ke perguruan
tinggi.
Semoga
hasil kajian ini dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk merumuskan
kurikulum yang terbaik menuju generasi emas 2045.
Rekomendasi dari Pusaka Pendidikan
adalah:
1.
Rancangan kurikulum 2013 belum matang,
masih memerlukan masukkan dari pelbagai pihak dan Pusaka Pendidikan menolak
diberlakukannya di tahun ini.
2.
Ujian
nasional perlu
penyempurnaan sebagai sistem penilaian pendidikan.
3.
Untuk mencapai tujuan UU Sisdiknas,
jumlah mapel pendidikan agama harus diperbanyak 4-5 jam dari SD-Pendidikan tinggi.
Karena agama merupakan pandangan hidup seseorang yang sangat berpengaruh pada
pembentukan karakter.
4.
Pendidikan karakter penting, tapi tidak
cukup sampai di sana. Diperlukan keteladanan pendidik dan orang tua dalam kehidupan
keseharian anak.
5.
Konsep orientasi dan standar kompentensi
Pramuka (jika jadi diwajibkan) harus dimatangkan. Profesionalisme pendidik
mapel ini pun perlu dipenuhi. Karena Pramuka dapat membentuk karakter
kepemimpinan, kerja tim, dan kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah.
6.
Mapel IPA dan IPS harus tetap menjadi
disiplin ilmu tersendiri dan diberikan mulai SD.
7.
Profesionalisme guru perlu dikontrol dan
up grade setiap waktu karena merekalah ujung tombak pelaksanaan kurikulum di satuan pendidikan. Evaluasi sertifikasi bagi guru perlu dilakukan agar
guru tidak berleha-leha dengan label profesional yang diperoleh.
Vivit
Nur Arista Putra
Direktur
Eksekutif Pusaka Pendidikan
Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Tinggi UGM
@aristaputra88
CP:
085 228 302 376
akuvivit.blogspot.com
Referensi:
UU No.20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
PP No.19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan
PP No/74/2008 tentang Guru
Republika, 29 Oktober 2012
Oemar Hamalik. (2006). Manajemen Pengembangan Kurikulum.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mohamad Ali. (1985). Pengembangan Kurikulum di Sekolah.
Bandung: Sinar Baru.
Suharsimi Arikunto. (2005). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Uji publik kurikulum 2013
Kemendikbud.
kemdikbud.go.id
0 komentar:
Posting Komentar