Relasi Perguruan Tinggi, Pemerintah, dan Industri di Indonesia

Dimuat di helm-mmpt.ugm.ac.id pada Februari 2015


Relasi Perguruan Tinggi, Pemerintah, dan Industri di Indonesia

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Pada pemerintahan baru kabinet kerja Jokowi-JK dibentuklah kementerian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Menurut penulis, lebih tepatnya disebut kementerian perguruan tinggi, riset, dan teknologi. Sebab, perguruan tinggi merupakan institusi yang memproduksi pengetahuan. Adapun riset merupakan salah satu tridharma perguruan tinggi dan aktivitas ilmiah untuk menemukan pengetahuan baru, dan teknologi merupakan manifestasi pengetahuan yang konkret. Tujuan pembentukan kementerian ini menurut Jokowi untuk mensinergikan lembaga pendidikan tinggi, riset, dan dunia usaha. Selama ini industri menikmati lulusan perguruan tinggi untuk bekerja di perusahaannya, tetapi belum begitu besar dukungannya dengan memberikan beasiswa, peluang magang, atau kursus singkat kepada mahasiswa yang sedang studi di kampus. Di termin lain, dosen, peneliti, dan mahasiswa yang melakukan aktivitas riset sering kali kekurangan dana karena minimnya anggaran dana penelitian dari pemerintah. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mendorong perusahaan agar jangan hanya menampung alumni terbaik universitas dan memanfaatkan hasil risetnya saja, tetapi juga memasok dana yang besar untuk kepentingan penelitian dan studi para dosen dan mahasiswa sehingga terciptalah hubungan “simbiosis mutualisme” antar ketiganya.


          Pada sisi lain, ada opini dibaginya urusan pendidikan menjadi dua kementerian, dianggap terlalu menyederhanakan persoalan pendidikan, karena mengelola setiap jenjang pendidikan secara parsial dan tidak integral. Seyogianya jenjang dasar, menengah, atas, sampai pendidikan tinggi membutuhkan koordinasi yang terpadu karena setiap kebijakan berkaitan erat satu sama lain. Sebagai contoh, kebijakan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2013 menetapkan wajib belajar 12 tahun sampai SMA, dan Ujian Nasional (UN) digunakan sebagai penentu kelulusan dan sekaligus menjadi “paspor” untuk masuk ke perguruan tinggi.

 Argumentasi penolakan lainnya adalah untuk membuka akses pendidikan tinggi bagi peserta didik yang tidak mampu, pemerintah mengeluarkan beasiswa bidik misi. Dirjen Dikti tentu membutukan data dari dirjen Mendikdasmen untuk mengetahui berapa kuota peserta didik yang akan menerima beasiswa bidik misi dan sebaliknya. Menurut Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) jumlah penduduk yang menikmati bangku kuliah baru sekitar 6-7 persen dari total populasi, sedangkan untuk bangku SMA/SMK baru sekitar 20 persen. Dileburnya kementerian yang mengelola pendidikan menjadi dua ini ditakutkan akan merenggangkan pola koordinasi yang selama ini telah terjalin rapi. Kontinuitas akses atau naiknya angka partisipasi kasar dari SMA/SMK ke PT juga akan sulit terkontrol karena kantor dan fokus garapan juga berbeda. Begitupun dengan para pendidik, ada kementerian yang mendidik para calon guru yaitu kementerian riset, teknologi, dan perguruan tinggi, tetapi setelah menjadi guru, mereka dikelola oleh kementerian lain yaitu kementerian pendidikan dasar dan menengah. Selayaknya kaderisasi pendidik dilakukan oleh satu kementerian yang fokus merancang kurikulum dan melakukan pembinaan dan pelatihan berkelanjutan ketika calon pendidik lulus pendidikan S1.

          Pembentukan kementerian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi, juga tidak menjamin dalam sekejap mampu meningkatkan hasil atau produk penelitian. Sebab, dana yang dikeluarkan pemerintah masih sedikit dan fasilitas tak banyak mendukung para peneliti. Justru yang perlu dilakukan ialah kampus harus menumbuhkan tradisi ilmiah seperti membaca, menulis, berdiskusi dengan dukungan ruang akademik yang memadai seperti perpustakaan, laboratorium, dan ruang terbuka untuk berdiskusi dan akses jurnal domestik dan internasional melalui internet untuk memantik budaya meneliti. Faktanya sampai saat ini baru beberapa kampus besar saja yang telah berlangganan jurnal internasional. 

Untuk mendorong tradisi riset S2 dan S3, Mendikbud mengeluarkan Permendikbud No.49/2004 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Peraturan ini berisi ke depan program magister dan doktor ada 72 SKS (Sistem Kredit Semester), menyesuaikan dengan capaian pembelajaran (CP). Salah satu komponen CP program magister yaitu kemampuan menulis karya ilmiah dalam jurnal terakreditasi dan bertaraf internasional. Adapun program doktor CP yaitu mampu menulis karya ilmiah dalam jurnal nasional terakreditasi dan jurnal internasional terindeks. Pada rincian 72 SKS tersebut, porsi penelitian dan penulisan tesis memiliki porsi yang sangat besar 20 SKS, penulisan karya ilmiah 10 SKS dan 30 SKS untuk penelitian dan penulisan disertasi, serta 20 SKS untuk karya ilmiah internasional yang didistribusikan sejak semester pertama. Bukan tidak mungkin standar nasional pendidikan tinggi juga akan dibuat untuk program sarjana khususnya bagi kampus yang bervisi world class research university dengan banyaknya hasil riset sebagai parameternya. Permendikbud di atas bisa jadi merupakan aturan turunan dari UU Pendidikan Tinggi pasal 48 ayat 4 yang menyatakan “pemerintah memfasilitasi kerja sama dan kemitraan antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang penelitian.”

          Komitmen Anggaran

          Perlu diketahui, kementerian pendidikan tinggi, riset, dan teknologi bukanlah barang baru di Indonesia. Pada 1960 an sebelumnya pernah dibentuk kementerian pendidikan tinggi, tapi entah kenapa kementerian tersebut kemudian ditiadakan. Kebijakan pembentukan kementerian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi, memiliki konsekuensi logis dengan ditopang pagu anggaran yang kuat untuk merealisasikan program. Malangnya semester pertama kabinet Jokowi-JK belum bisa melaksanakan kebijakan yang optimal karena anggaran yang dipakai adalah warisan APBN-P 2014 dari presiden SBY.

Sumber: http://blog.adriatic-next.eu/triple-elix-may-29/


          Di era SBY-Boediono juga ada kementerian riset dan teknologi tetapi hasilnya belum begitu mengemuka. Salah satu sebabnya mungkin anggaran dana yang masih sedikit dan infrastruktur riset yang belum mamadai. Menurut Kementerian Riset dan Teknologi, persentase anggaran untuk kegiatan riset sejauh ini masih didominasi anggaran pemerintah, yaitu 81,1 persen, sedangkan swasta 14,3 persen dan perguruan tinggi 4,6 persen. Secara keseluruhan, anggaran riset di Indonesia hanya berkisar 0,08 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal  menurut  rekomendasi United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation (UNESCO), rasio anggaran Iptek yang memadai adalah sebesar 2 persen dari PDB. 

          Nominal ini masih kalah jauh dengan negara maju yang mengalokasinya 3,5-4 persen dari GDP (Gross Domestic Product). Singapura 2,72 persen untuk riset, Swedia 3,62 persen, bahkan Israel mencapai 4,28 persen. Idealnya untuk negara dengan komposisi yang besar seperti Indonesia, seyogianya mengeluarkan anggaran 3-5 persen dari GDP. Minimnya anggaran riset dari negara, solusinya bisa dicarikan dari perusahaan swasta, seperti Swedia yang 80 persen dana risetnya dari swasta. Pada konteks ini, peran pemerintah dalam memberikan dana dan membantu mencarikan dana ke pihak swasta telah diamanatkan konstitusi dalam UU Pendidikan Tinggi pasal 86 ayat 1 yang berbunyi “pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.” 

Berpijak dari persoalan ini, perlu mendorong perusahaan swasta agar tak sekadar menerima alumni terbaik universitas dan memanfaatkan hasil penelitiannya saja, tapi juga memberikan bantuan dana beasiswa dan riset yang besar ke PT sehingga terciptalah hubungan timbal balik antara keduanya. Pekerjaan rumah Jokowi ke depan adalah menaikan anggaran riset dari negara dan swasta, pengembangan infrastruktur seperti laboratorium dan berbagai media penelitian, serta melestarikan tradisi ilmiah di kampus.
Triple Helix Model
Semakin eratnya pola relasi antara perguruan tinggi, pemerintah, dan industri membuat Leydesdorff dan Etzkowitz (2001), menyebutnya sebagai Triple Helix model. Awal mula terbentuknya model ini karena universitas mengalami dua kali revolusi. Revolusi pertama terjadi ketika perguruan tinggi yang selama ini hanya berperan sebagai institusi pendidikan atau pengajaran (teaching university), berubah dengan mengambil peran baru melakukan penelitian (research university). Faktor pendorong kegiatan riset ini karena perguruan tinggi ingin menjadikan kegiatan penelitian sebagai medium untuk menemukan kebenaran ‘ilmiah’ dari berbagai pengetahuan yang diproduksi oleh mahasiswa dan pengajarnya. Universitas mulai mengambil peran penelitian pada paruh kedua abad ke 19 atau kisaran tahun 1850. Revolusi kedua perguruan tinggi mulai mengambil peran baru yaitu sebagai kontributor perkembangan ekonomi (enterpreuneural university) pada paruh kedua abad ke 20 atau 1950 an.


Menurut Leydesdorff dan Etzkowitz (2001), munculnya Triple Helix model disebabkan beberapa perkembangan dunia yang terjadi secara bersamaan. Pertama, interkoneksi yang semakin kuat antara institusi penghasil pengetahuan dan para pengguna pengetahuan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya para industriawan dan ilmuwan bekerja sama melakukan prioritas penelitian yang akan dilakukan. Sehingga terjadilah transfer pengetahuan dan teknologi sebagai hasil produksi pengetahuan dari para ilmuwan yang bekerja di perguruan tinggi ke industri. Kedua, semakin masifnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet, metamorfosa komputer kotak ke komputer jinjing (laptop) dan telphone genggam ke handphone, membuat pengetahuan mudah diperoleh dari sumber manapun. Ketiga, cepatnya tumbuh kembang teknologi informasi dan komunikasi memiliki konsekuensi logisnya terjadinya perubahan bentuk koordinasi antara perguruan tinggi, pemerintah, dan industri dari vertikal ke lateral yang memangkas rumitnya birokrasi, sehingga seiring waktu ketiganya semakin padu.

Bergesernya peran perguruan tinggi untuk meningkatkan daya saing nasional dan mengembangkan ekonomi negara sangat tergantung dengan inovasi. Inovasi industri yang berguna dan bermanfaat sesuai kebutuhan masyarakat sangat dipengaruhi riset-riset rutin perguruan tinggi. Menurut Djoko Santoso (2008), universitas adalah lembaga riset, dengan demikian dalam siklus industri (membuat produk sesuai kebutuhan pasar), universitas dapat memerankan dirinya sebagai komponen yang melakukan riset dan pengembangan (produk tersebut). Sebab untuk membuat lembaga riset memerlukan biaya yang mahal, sementara hampir semua industri di Indonesia tidak dilengkapi lembaga riset, maka universitas harus menempatkan dirinya sebagai lembaga riset industri. Di Indonesia kita mengenal kebijakan RAPID (Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri).

Pada konteks kasus di Indonesia, analisa Bagyo Y. Moeliodihardjo dkk (2012) menyimpulkan, tidak adanya kebijakan pemerintah yang koheren dalam relasi perguruan tinggi, pemerintah, dan industri membuat pola kemitraan universitas dan industri sebagian besar dikembangkan oleh para profesor secara individu. Berbagai kegiatan pun dilakukan kampus untuk mengeksplorasi pilihan dalam menjalin hubungan dengan industri seperti:
1.    Sejumlah perguruan tinggi telah meningkatkan kontrak kerja sama dan layanan lainnya dengan berbagai pemerintah daerah dan klien industri. Keinginan untuk menghasilkan pendapatan lebih menjadi faktor pendukung kerja sama ini.
2.    Banyak perguruan tinggi yang mulai mengurus hak paten dengan dukungan pemerintah. Hal ini sangat berbeda dengan masa lalu, di mana setiap akademisi kampus secara individu memberikan hak cipta temuannya khusus kepada mitra industri saja.
3.    Pada konteks penelitian kolaboratif dan pengembangan, banyak akademisi merasa kesulitan menemukan mitra industri untuk menjalin kerja sama dan meningkatkan dukungan finansial dari industri untuk penelitian di perguruan tinggi.
4.    Minimnya jaringan akademisi kampus dengan pelaku usaha merupakan masalah penting yang harus dipecahkan. Merespon persoalan ini beberapa kampus memilih untuk mengadakan pertemuan antara akademisi perguruan tinggi, pengusaha, dan pemerintah di beberapa daerah untuk membuka peluang kerja sama.
5.    Kolaborasi peran industri untuk pendidikan pun dilakukan seperti meminta pelaku usaha untuk mengajar mata kuliah kewirausahaan dan perguruan tinggi pun dapat mengirimkan staf pengajarnya untuk belajar di lingkungan industri.
         
Di Indonesia berbagai upaya untuk mempererat hubungan antara perguruan tinggi dan industri telah dilakukan sebagaimana dicontohkan di atas. Tetapi ikhtiar ini tidak selamanya mulus karena ada beberapa anggapan di balik layar yang berkembang yang bisa menghambat integrasi ketiganya, sebagaimana disebutkan Bagyo Y. Moeliodihardjo dkk (2012) yaitu, kurangnya pengertian dan kepercayaan antara perguruan tinggi dan industri. Akademisi tidak selalu respek pada industri karena terlalu berorientasi duit, kurang idealis, dan terlalu praktis. Industri pun menganggap perguruan tinggi kini menjadi menara gading, terlalu birokratis, bekerja lambat, dan banyak penelitian yang malah difokuskan pada penelitian akademik. Industri pun menganggap banyak akademisi yang tidak mengerti masalah yang dihadapi industri. Jika problem ini terus menerus dibiarkan akan membuat relasi perguruan tinggi dan industri akan terganggu dan dampaknya perkembangan ekonomi dan daya saing nasional pun dapat tersendat.

Pada titik ini pemerintah harus mengambil sikap untuk menjembatani kesalahpahaman ini, dengan membuat pertemuan intensif antara perguruan tinggi dan industri guna menemukan kerangka berfikir yang sejalan sebelum membicarakan program kemitraan jangka panjang. Apabila permasalahan konsepis ini sudah terpecahkan, relasi antara perguruan tinggi, pemerintah, dan industri tak ada aral rintang, sehingga pembangunan sumber daya manusia dan pengembangan ekonomi nasional pun tertunaikan. Semoga.


Vivit Nur Arista Putra
Direktur Eksekutif Pusaka Pendidikan
Mahasiswa S2 Magister Manajemen Pendidikan Tinggi UGM
@aristaputra88
CP: 085 228 302 376




Referensi

Bagyo Y. Moeliodihardjo. (2012). University, Industry, and Government partnership:
its present and future challenges in Indonesia. Journal Procedia - Social and Behavioral Sciences

Djoko Santoso. (2008). Makalah “Universitas dalam Industri” disampaikan pada Raker Perindustrian Jawa Timur, Surabaya, 12 Maret 2008
http://blog.adriatic-next.eu/triple-elix-may-29/ diakses pada Kamis, 29 Januari 2015 pukul 23.50.
www.techpinoytrend.blogspot.com diakses pada Kamis, 29 Januari 2015 pukul 23.52.
Leydesdorff dan Etzkowitz. (2001). The Transformation University-Industry-and Government Relations. Electronic Journal of Sosiology
Permendikbud No.49/2004 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Permendikbud No.49/2004 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

Sambutan Menteri Riset dan Teknologi, Pengukuhan Gelar Perekayasa Utama Kehormatan 2014, 20 Agustus 2014. Diakses pada 5-1-2015 pukul 02.06. http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/14879/print

0 komentar:

Posting Komentar