Disampaikan pada diskusi
edukasi Pusaka Pendidikan dan BEM FIS UNY
“Ujian Nasional; Antara
Pemetaan Mutu dan Penentu Kelulusan”
Aula FE UNY, Kamis, 10 Mei 2012
Dinamika dan
Problematika Ujian Nasional
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Pijakan dasar pelaksanaan ujian nasional (UN) tertera jelas dalam PP 19/2005 Standar Nasional Pendidikan BAB X tentang Standar Penilaian Pendidikan pasal 68. Pada pasal tersebut diputuskan hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk; pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan atau satuan pendidikan dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Peraturan Pemerintah yang baru PP No. 10/ 2010 isinya menyatakan peserta didik yang tak lulus ujian nasional dapat melakukan ujian ulangan malah menunjukkan mulai melunaknya sikap pemerintah karena mendapat tekanan dari banyak pihak yang menolak penerapan UN sebagai wujud evaluasi.
Alasan
penolakannya ialah, pertama mengabaikan pendidik sebagai evaluator pendidikan.
UU Sisdiknas BAB XVI perihal evaluasi pendidikan pasal 58 mengungkapkan
“Evaluasi hasil belajar mengajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara kesinambungan”.
Kedua, pemerintah berperan mutlak dalam penentuan kelulusan dan mengabaikan
pendidik yang mengetahui persis perkembangan anak. Ketiga, UN menilai secara
kognitif. Sedangkan afektif dan psikomotorik terabaikan. Padahal keduanya yang
lebih faham adalah pendidik. Ihwal ini menjadikan anak berfikir konvergen (satu
arah). Keempat, penyelenggaraan UN selama 3 hari atau 2 jam per hari tidaklah
menghargai proses belajar mengajar peserta didik selama 3 tahun. Kelima, UN
kontradiktif dengan pembentukan karakter
anak. Efek mendasarnya akan merusak sistem pendidikan. Bayangkan, menjelang UN
per sekolah pasti akan menggelar uji coba (try out). Hal ini tentu
mengurangi beban belajar yang mestinya diperoleh siswa.
Insiden UN ini juga berimbas pada psikis atau mental pendidik dan
peserta didik. Cara pandang dan cara mengajar guru menjadi pragmatis. Mengukur
keberhasilan dari segi hasil, bukan serangkaian proses. Sekolah pun akhirnya
hanya akan memfokuskan proses belajar-mengajar pada mapel yang diujikan di UN,
karena hasil UN menyangkut prestise satuan pendidikan. Peserta didik pun
demikian, pola belajar mereka menjadi monoton satu arah pada mapel yang
ditawarkan di UN dan kemungkinan besar mengabaikan mapel lainnya. Inilah yang
berpotensi memunculkan kecurangan massal, antara pendidik, peserta didik,
bahkan sekolah. Kesemuanya dilakukan demi satu kata pragmatis; lulus.
Polemik ujian nasional mencapai klimaksnya ketika pada 2008 Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan pemerintah atas perkara ujian nasional. Keputusan ini didasari pertimbangan yang matang, bahwa pemerintah memang belum meningkatkan kualitas pendidik secara merata, sarana prasarana yang komplit, dan akses informasi yang menyeluruh hingga daerah pedalaman. Jika dinalar inilah problem pendidikan yang sesungguhnya, UN hanyalah persoalan yang mengapung di akhir tahun saja dalam evaluasi pendidikan.
Malangnya pemerintah masih saja berkilah bahwa ketiga hal di muka dalam proses renovasi. Tapi sampai kapan? Tentu inilah pertanyaan publik yang mengemuka. Mengingat sudah 67 tahun negeri ini merdeka, tetapi layanan pendidikan masih jauh dari asa. Maka perhelatan UN menjadi sangat diskriminatif, karena kemampuan antardaerah sangat timpang dalam memenuhi delapan standar pendidikan yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Provinsi berkota besar umumnya sudah memenuhi prasyarat di atas. Tetapi bagi daerah pedalaman sangatlah bertolak belakang. Alur nalarnya seharusnya, pemerintah melengkapi terlebih dahulu delapan standar pendidikan sebelum mengeluarkan kebijakan UN.
Mencermati dan menyadari beragamnya potensi satuan pendidikan, sudah sepantasnya pemerintah menyerahkan mekanisme pendidikan dan evaluasinya pada sekolah masing-masing. Apa gunanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dicetuskan sejak 2006 jika tidak dilaksanakan. KTSP memberikan kesempatan lebih kepada sekolah dan pendidik untuk mengelola pendidikan secara mandiri sebagai konsekuansi dari desentralisasi pendidikan, yang dikembangkan berdasarkan potensi, kebutuhan, kepentingan pendidik, dan lingkungan setempat.
Oleh sebab itu,
evaluasi pendidikan menurut PP No. 19/ 2005 yang bermakna "kegiatan
pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai
komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai
bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan", haruslah
dikembalikan pada satuan pendidikan setempat sebagai konsekuensi logis
penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yakni memberi otonomi pada
sekolah, dan menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk mengembangkan KTSP secara
serentak.
UN: (Uji Nyali)
Kejujuran
Jika moment pemilihan umum merupakan pesta demokrasi warga negara. Maka
ujian nasional adalah wujud perhelatan raksasa dalam dunia pendidikan
Indonesia. Dari sisi kualitatif, jelas UN merupakan pertaruhan siswa untuk
melanjutkan studi selanjutnya. Bahkan 2013 nanti, UN dijadikan paspor untuk
masuk ke perguruan tinggi. Sedangkan segi kuantitatif, Dirjen Mendikdasmen
melansir pekan lalu jumlah peserta didik kelas 12 SMA/ MA, dan SMK yang
terlibat UN mencapai 2.580.446 dari 27.237 sekolah negeri dan swasta. Siswa
abu-abu ini menempati 148.352 ruang kelas yang dijaga 296.704 pengawas guru
sekolah lain dan utusan perguruan tinggi.
Sedangkan pekan ini jenjang SMP/ MTs akan menggelar UN Senin-Rabu 23-26
April 2012 dan SD/ MI dihelat 7-9 Mei 2012. Mereka harus melebihi rata-rata
nilai dari semua mata pelajaran yang diujikan. Formatnya kini berbeda dengan
komposisi untuk menghitung nilai sekolah= 60 % nilai ujian nasional + 40 %
nilai ujian sekolah. Dengan catatan tidak ada ujian ulangan bagi mereka yang
tidak lulus. Soal ujian nasional tahun ini dibuat Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) dengan lima soal yang diacak untuk setiap lembaran
soalnya. Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi tindakan mencontek sesama
siswa. Pengawas pun kali ini tidak dapat memberitahu jawaban ke peserta didik
karena hanya diminta untuk duduk di tempat tanpa diperbolehkan keliling ruang
kelas. Serta dilarang menggunakan sepatu jinjing yang berbunyi jika menyentuh
lantai, karena dikhawatirkan mengganggu konsentrasi siswa.
Jika keseluruhan dijumlahkan tanpa pandang jenjang dan jenis pendidikan,
maka UN tahun ini akan diikuti 76.558 satuan pendidikan dengan jumlah anak
didik paling tidak 10,8 juta. Kemendikbud memajang tagline jujur dan berprestasi. Sebab itulah, akronim UN dapat
dimaknai UN (Uji Nyali) kejujuran. Aspek kejujuran merupakan nilai moral utama
dalam pendidikan karakter yang menjadi isu masif dunia pendidikan Indonesia.
Untuk mengujinya dibutuhkan momentum guna menakar sejauh kesuksesan pihak
sekolah memproses anak asuhnya dengan orientasi tercipta manusia beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia (berkarakter), dan menjunjung nilai
demokrasi dalam kehidupan bernegara. Inilah orientasi pendidikan nasional
sebagaimana diamanatkan UU Sisdiknas 2003. Momentum tersebut adalah ujian
nasional.
Banyak peserta didik yang berorientasi materi (baca; nilai) karena sistem
membuat mereka berfikir demikian. Mau tidak mau, para siswa harus melampaui
standar nilai atau passing grade yang
ditentukan agar lulus ujian. Bagi anak dan sekolah yang berfikir sempit, segala
cara akan ditempuh untuk meraihnya. Kendati sikap itu tercela seperti
kongkalikong guru dan murid untuk mendesain contek massal seperti terjadi di
SDN Gadel 2, Tendes, Surabaya, Jawa Timur dua tahun silam. Siami (ibunda AI)
yang mengungkap skandal ini karena anaknya diminta mencontekkan jawaban UN ke
kawan lain, malah mendapat cacian dan usiran dari warga kampungnya karena
dianggap sok pahlawan. Ini pertanda nilai ketidakjujuran sudah mengakar kuat di
akar rumput karena warga menganggap itu sudah lumrah.
Haris Suprapto, koordinator peneliti Tim Pemantau Independen UN
memaparkan dalam rembug nasional 2010, bahwa ketidakjujuran dalam UN menjadi
sistematis dengan klasifikasi. Pertama, kelompok putih yaitu wilayah tersebut
mampu menghelat UN dengan jujur tapi masih ada sedikit kecurangan dengan
kalkulasi 0-20 persen. Kedua, kelompok abu-abu 42 persen dan ketiga kelompok
kejujuran hitam 39,99 persen. Ini artinya ketidakjujuran telah menjadi penyakit
akut dalam aktivitas belajar mengajar dan ujian nasional.
Kini menjadi tantangan bagi pendidik dan pihak sekolah untuk memberikan
pemahaman kepada peserta didik arti pentingnya kejujuran melalui keteladanan.
Selain itu pelbagai kegiatan dapat digaungkan untuk mengkampanyekan arti
pentingnya kejujuran. Seperti mengumpulkan seluruh siswa untuk menandatangani
pakta integritas kejujuran atau anti menyoktek. Training motivasi pun dapat
dicoba menjelang UN untuk menumbuhkan motivasi dan kepercayaan diri peserta
didik agar tak tergiur isu bocornya jawaban ujian nasional.
Dalam buku “Pendidikan Profetik, Revoluasi Manusia Abad 21” (2010) ada
beberapa hal yang perlu dikembangkan pada proses internalisasi pendidikan
karakter di kelas, yaitu; pertama, memberikan metode belajar partisipasi aktif
siswa untuk meningkatkan motivasi siswa. Kedua, menciptakan iklim belajar
kondusif agar siswa dapat belajar efektif dalam suasana yang memberikan rasa
aman dan penghargaan. Ketiga, metode pengajaran harus memperhatikan keunikan
masing-masing siswa. Keempat, guru harus mampu menjadi teladan (modelling) bagi praktik implementasi
nilai-nilai profetik. Kelima, membentuk kultur terbuka saling mengingatkan
antara guru dan siswa dengan prinsip kesantunan.
Akhirnya UN tak sekadar mencari nilai tetapi juga menjadi uji nyali
kejujuran siswa dalam proses meraih nilai. Semoga.
Vivit Nur Arista
Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan
akuvivit.blogspot.com
Untuk berbincang isu dan topik pendidikan aktual silahkan
gabung di group FB Pusaka Pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar