Dok. BEM KM UNY |
Disampaikan dalam diskusi “Guru dan
Pendidikan”
BEM
KM UNY, 27 November 2014
Dialektika Guru
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
“Cara kita memperlakukan guru, adalah cara
kita memperlakukan masa depan”
Anies
Baswedan
Dinamika
persoalan guru selalu beragam. Sejak pemerintah berikhtiar mencipta guru yang
profesional melalui jalur sertifikasi (tujuh tahun silam) dengan target 2015 seluruh guru di Indonesia
bersertifikat, profesi guru menjadi marak diminati khalak ramai. Apalagi
ditengah minimnya lapangan kerja dan rendahnya upah minimum per bulan. Sebagai
contoh para mahasiswa dari jurusan nonkependidikan setelah sarjana lebih memilih
mendaftar menjadi guru dan tak pedulikan orientasi jurusannya karena gaji
setiap bulan terjamin. Apalagi jika diangkat menjadi PNS dan lolos sertifikasi,
gaji dapat membengkak dua kali lipat dibanding Pegawai Negeri Sipil (PNS)
nonpendidik.
Oleh
sebab itulah, pemerintah menutup legalitas mengajar atau akta 4 dan membentuk
pendidikan profesi guru selama satu atau dua tahun. Hal ini untuk menampung
alumni kampus yang bukan berasal dari jurusan orientasi pendidik tetapi
berkeinginan menjadi guru. Karena mereka tak mendapat materi psikologi
pendidikan, metodologi pembelajaran, dan microteaching atau latihan mengajar
layaknya mahasiswa PGSD. Maka pendidikan profesi dijadikan tempat untuk
menempanya.
Tetapi
bukan di sana sebenarnya pangkal persoalannya. Melainkan yang hendak dikritisi
penulis ialah orientasi seseorang untuk menjadi pendidik. Kini orang
berkeinginan menjadi guru karena materi (gaji bulanan pasti, apalagi kalau
lolos sertifikasi) bukan karena kesungguhan mengabdi, mendidik, dan
mencerdaskan generasi bangsa ini. Pada Februari 2013
Mahkamah Konstitusi menolah permohonan uji materi UU No. 14/2005 tentang Guru
dan Dosen, dan memberikan kesempatan mahasiswa dari nonkependidikan untuk
menjadi guru sepanjang memenuhi syarat. Itu artinya kompetitor atau daya saing untuk
menjadi guru sangat ketat, karena bukan hanya mahasiswa alumni jurusan
kependidikan saja, tetapi juga nonkependidikan. Oleh sebab itulah pemerintah
mengeluarkan kebijakan pendidikan profesi guru untuk mendidikan secara
profesional bagi siapa saja yang mempunyai bakat dan minat menjadi guru dan
akan dididik sesuai standar nasional pendidikan.
Ada
tiga isu sentral ketika kita berbicara tentang guru, yaitu kompetensi guru,
kesejahteraan guru, dan distribusi guru di tanah air. Pertama, kompetensi guru
sebagaimana yang tertera di UU No.14/ 2005 tentang Guru dan Dosen yaitu
kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional harus selalu
ditingkatkan setiap saat. Sebab, sebaik-baik kurikulum yang dibuat, jika
pendidik tidak mampu menterjemahkan di dalam kelas maka akan percuma.
Menurut
Dwi Siswoyo dalam buku ‘Quo Vadis Pendidikan’ beberapa hal yang penting
diperhatikan bagi pendidik ialah (1) mencintai pekerjaan guru sebagai profesi,
sebagai panggilan hidup, agar pada diri yang bersangkutan memiliki komitmen
yang tinggi dalam menjalankan tugasnya dengan penuh kesungguhan, kerja keras,
dan tanggung jawab. (2) Menanamkan pada jiwa peserta didik tentang kecintaan
untuk senantiasa berusaha hadir tepat waktu di saat jadwal mengajarnya, dan
menjadikannya sebagai media mencapai sukses belajar dan mengajar dalam
hidupnya. (3) Menanamkan pada diri pendidik sendiri dan peserta didik cara
berfikir positif. Ketiga aspek di muka perlu diutamakan oleh guru, agar proses
belajar mengajar dijalankannya tanpa beban. Jika demikian, label profesional
(bersertifikat) pun tak perlu dicari justru akan datang menghampiri.
Sedangkan
menurut liputan harian Republika, 9/9/2011. Selama ini tunjangan sertifikasi
yang telah dinikmati guru sejak 2005 hanya didasari penilaian portofolio atau
mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Dan belum dilaksanakan
sepenuhnya penilaian kinerja terhadap guru yang sudah bersertifikasi. Adapun
parameter yang dievaluasi meliputi kepribadian, pedagogik (pemahaman terhadap
ilmu yang diajarkan), sosial, dan keprofesionalitasan guru. Pada empat aspek
inilah guru dituntut untuk senantiasa menaikkan kapasitasnya agar
bermetamorfosa menjadi guru profesional.
Pertama,
dari segi kepribadian guru dituntut untuk menjadi pribadi yang teladan,
beretika, bijaksana, dan dekat dengan siswa. Suasana kedekatan ini perlu
dibangun agar peserta didik tidak segan jika ada hal yang ditanyakan. Selain
itu, siswa dapat pula mencurahkan persoalan pribadi yang mengganggu proses
studinya kepada guru, karena guru merupakan orang tua di sekolah maka guru
dituntut untuk mampu memecahkan segala persoalan murid.
Kedua,
segi pedagogik. Guru dituntut untuk memiliki wawasan yang luas serta retorika
(seni komunikasi) dan bahasa tubuh yang bijak dalam proses pelimpahan ilmu.
Suasana belajar di kelas akan tampak membosankan jika guru menyampaikan materi
pelajaran secara monoton. Oleh sebab itu, variasi mengajar dan kreativitas menggunakan
media pembelajaran harus dikuasai pendidik. Tempat belajar pun tak melulu harus
di kelas. Sesekali dapat berpindah ke perpustakaan, taman, masjid, atau study tour dan study wisata untuk
mengusir kejenuhan siswa dan mendesain forum belajar mengajar senyaman mungkin.
Karena suasana kejiwaan siswa secara langsung memengaruhi transfer ilmu yang
diberikan.
Ketiga,
aspek sosial. Karena fitrah manusia ialah tak bisa hidup sendiri dan
membutuhkan orang lain. Maka, guru tak sekadar bertugas mengajar, tetapi juga
mempunyai tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan. Wujudnya dapat aktif
dalam kegiatan sosial di masyarakat sekitar atau tempat tinggal. Sebab, kata
Pramudya Ananta Toer, rakyat dididik dengan organisasi dan penguasa dididik
dengan perlawanan. Bagaimana pun, guru diharapkan tak sekadar memberikan
pencerahan di sekolah tetapi juga dapat menularkannya di masyarakat luas. Aktif
dalam berorganisasi dan terlibat dalam dunia sosial akan melatih guru peka
terhadap realitas sosial, membangun relasi dengan banyak orang yang berujung
pada luasnya wawasan. Orang yang rajin berlatih, tak sekadar terlatih, tetapi
juga dapat menjadi pelatih.
Keempat,
keprofesionalitasan. Bentuknya dapat berupa mengajar tepat waktu, aktif
berorganisasi menghadiri rapat sekolah, pemberi teladan bagi mitra didik,
berprestasi di dalam maupun di luar sekolah. Oleh sebab itu, pada titik ini
setiap guru harus mengidentifikasi potensi diri yang dapat dikembangkan
sehingga berlabel pakar. Tentunya selain materi pelajaran akademik yang diajarkan.
Semisal kemampuan membangun jaringan dengan sekolah, institusi, dan tokoh
pendidikan. Atau kemampuan menulis di media massa, untuk menyebarkan ilmu ke
khalayak ramai. Ihwal ini membuat guru lebih bermanfaat tak hanya untuk diri
pribadi tetapi juga orang lain. Sebab, inilah prinsip hidup manusia sebagai
mana kata Nabi adalah sebaik-baik insan ialah yang berkontribusi bagi orang
lain. Orientasi
para pendidik perlu diluruskan, yakni tak melulu memikirkan kompensasi tetapi
memprioritaskan menaikkan kompetensi. Sebab, padanyalah tunas bangsa negeri ini
bergantung.
Isu
kedua yaitu kesejahteraan guru, bagi guru yang lolos sertifikasi dia memperoleh
tunjangan sebesar gaji pokok. Lambat laun kesejahteraan guru terjamin, pada
2015 negara menaikkan anggaran untuk pendidikan 404 T atau naik dari tahun
sebelumnya 375,4 T dan memberikan gaji, tunjangan, dan pelatihan guru 230 T. Tetapi
ditermin lain ada guru honorer yang memperoleh gaji 100.000,- per bulan,
sungguh sangat ironis. Gaji tukang bangunan saja Rp100.000,- untuk sehari, para
artis juga digaji selangit, padahal mereka (meskipun tak semua) mempertontonkan
ucapan dan tindakan yang dapat menghancurkan karakter generasi muda. Sementara
guru yang dituntut untuk membentuk karakter bangsa, memanusiakan manusia (humanizing the human being), hanya
digaji setara gaji harian tukang bangunan.
Pada
persoalan ini penulis sepakat dengan gagasan Menteri Pendidikan Dasar dan
Menengah yang akan memberikan upah minimum bagi guru tahun depan. Buruh saja
mempunyai upah minimum, kenapa yang menciptakan buruh, menciptakan menteri,
polisi, politisi, dokter, pengusaha menjadi orang yang berbudi pekerti tidak
mempunyai upah minimum, seyogianya pendidik memperoleh gaji yang layak dan
kesejahteraan yang terjamin baginya dan keluarganya. Negara harus memberikan
jaminan kesehatan dan pendidikan bagi guru dan anak-anaknya. Bagaimana guru
bisa fokus untuk mengajar kalau anak-anaknya saja kesulitan melanjutkan ke
jenjang pendidikan tinggi dan disibukkan dengan persoalan kesejahteraan
keluarga. Namun, kebijakan upah minimum guru ini, harus dilihat pula jam
mengajar guru dan lamanya masa mengabdi karena setiap guru berbeda-beda.
Ketiga,
isu distribusi guru yang tidak merata. Semenjak
diberlakukan sertifikasi guru untuk meningkatkan kompetensi sekaligus
kesejahteraan pendidik, animo khalayak untuk menjadi guru meningkat. Bahkan
mahasiswa dari jurusan nonkependidikan pun berbalik arah hendak menjadi
pendidik. Pada umumnya dorongan untuk menjadi guru karena tergiur gaji pasti,
jika diangkat menjadi PNS, plus tunjangan berlebih sesuai gaji jila lulus
sertifikasi.
Di
termin lain, data Bappenas (Badan Perencanaan Nasional) tahun 2009 menunjukkan
jumlah angkatan kerja mencapai 21,2 juta orang. Dari angka tersebut, 22,2
persen atau 4,1 juta merupakan pengangguran yang terdiri dari masyarakat umum.
Adapun pengangguran terdidik atau mahasiswa tak dapat kerja lebih dari 2 juta
orang. Momentum penerimaan PNS (Pegawai Negeri Sipil) tenaga administratif dan
tenaga edukatif (guru) yang dibuka beberapa tahun terakhir, membuat mereka
berbondong-bondong mendaftar demi menghindari jurang pengangguran (jobless).
Nilai
positifnya ialah pemerintah memiliki banyak opsi untuk menyeleksi sesuai bakat
dan kompetensi untuk ditempa di LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan). Nilai negatifnya ialah cara pandang orang per orang saat ini
untuk menjadi guru karena materi, bukan panggilan nurani. Ihwal ini sangatlah
berpengaruh pada pola fikir dan mengajarnya nanti. Padahal profesi guru ialah
panggilan jiwa untuk mengabdi demi mencerdaskan tunas bangsa negeri ini. Maka
pekerjaan ini menuntut kesabaran, ketelatenan, dan ketekunan dalam proses
pelimpahan ilmu setiap hari. Orientasi materi akan membuat fikiran dan badan
guru rentan menunggu gaji diakhir bulan dan sedikit mengabaikan perkembangan
anak asuhnya.
Sebagaimana dilansir kompas.com, Kepala Badan Pengembangan SDM dan Penjamin Mutu
Pendidikan Nasional, Syawal Gultom mengatakan, rasio jumlah guru berbanding
jumlah peserta didik di Indonesia merupakan yang "termewah" di dunia.
Rasio di Indonesia, ungkapnya, sekitar 1:18. Angka tersebut lebih baik
jika dibandingkan dengan negara maju seperti Korea (1:30), atau Jerman (1:20).
Hal ini diamini Mendikbud dengan mengungkapkan, jika diberlakukan standar Rasio
Siswa Guru (RSG) internasional, Indonesia kelebihan pasokan guru 20 persen atau
500 ribu.
Lebih
lanjut Muhammad Nuh menerangkan sebanyak 68% sekolah di perkotaan dan 52%
sekolah pedesaan kelebihan guru. Sementara, 66% sekolah di daerah terpencil
kekurangan guru. Ini artinya problemnya bukan minimnya guru di daerah
terpencil, tetapi manajemen distribusi guru yang perlu diperbaiki karena marak
menumpuk di kota. Perkara ini menjadi penyakit akut tahunan karena belum adanya
strategi yang tepat untuk penataan guru. Jika tidak disiasati secepatnya banyak
guru akan terpusat di Jawa dan banyak pula guru yang akan pensiun massal 2014
nanti, sehingga perlu regenerasi.
Berpijak
realitas di muka, distribusi guru ke daerah tertinggal kini merupakan momentum
yang tepat untuk mengurai semrawutnya problem dunia guru. Karena maraknya minat
menjadi guru, sehingga dapat disodorkan syarat mengenai siap ditempatkan di
daerah manapun atau tidak diangkat menjadi guru. Selain itu, Kemendikbud baru
saja menandatangani SKB (Surat Keputusan Bersama) lima menteri yang berkomitmen
bersama Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Agama, Kementerian
Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan untuk memperbaiki mekanisme penataan
guru.
Penulis
menawarkan beberapa gagasan untuk memperlancar agenda distribusi guru dengan
menjangkau daerah yang tak terjangkau. Pertama, untuk mengirim guru ke lokasi
tertinggal, Kemendikbud perlu bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan
daerah setempat. Karena selama ini salah satu masalah tidak meratanya guru
disebabkan berbenturan dengan UU No.32/ 2004 tentang otonomi daerah, yang mana
setiap kabupaten memiliki kewenangan lebih besar untuk mengatur penempatan
guru.
Ke
depan mungkin pengelolaannya seperti pemerintah pusat mengatur transmigran.
Pemerintah pusat dapat membuka penawaran atau lowongan bagi guru atau sarjana
yang siap ditempatkan ke daerah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar).
Tentunya dengan gaji dan penginapan yang layak. Sebagaimana pemerintah
menyediakan rumah dan lahan untuk dikelola transmigran. Program ini dapat
dijadikan sebagai prasyarat untuk mengikuti pendidikan profesi sekaligus
mengajukan sertifikasi. Dengan demikian mau tidak mau, guru atau calon guru
pasti akan mengikutinya. Teknisnya Kemendikbud dapat bekerja sama dengan setiap
perguruan tinggi yang membuka jurusan keguruan.
Kedua,
ditandatanganinya SKB lima menteri membuat pengaturan penempatan guru menjadi
sentralistik. Sehingga Mendikbud mempunyai otoritas dapat mengeluarkan SK
(Surat Keputusan) bagi setiap pendidik atau calon pendidik untuk siap
ditempatkan di area tertinggal. Dampaknya guru harus mematuhi atau memilih
kehilangan pekerjaan. Bagi guru yang belum mampu memenuhi standar 24 jam
mengajar setiap pekan, ketimbang ke sana kemari mengajar di sekolah lain untuk
menambal kekurangan jam mengajar, dapat dilibatkan di program ini.
Keuntungannya
redistribusi guru ke daerah tertinggal dapat memeratakan kualitas pendidikan
plus menguji militansi guru sebelum di angkat menjadi PNS. Selain itu juga
dapat membentuk kepekaan sosial, karena guru harus beradaptasi dengan kultur
dan budaya setempat sehingga membentuk sikap toleransi. Dan memperkuat rasa
keindonesiaan yang mulai luntur, karena guru berkarya demi bangsa di luar
tempat kelahirannya.
Vivit Nur Arista Putra
Direktur Eksekutif Pusaka
Pendidikan
Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan
Tinggi UGM
akuvivit.blogspot.com
CP: 085 228 302 376
0 komentar:
Posting Komentar